Merah
Putih tak akan berkibar 64 tahun yang lalu tanpa peran petugas
pengibarnya. Jika sudah demikian, tak akan pula bangsa ini menikmati
kemerdekaannya.Tidak banyak yang mengenal sosok pengibar Sang Saka Merah
Putih saat dibacakannya teks Proklamasi pada 17 Agustus 1945. Padahal,
fotonya mudah ditemui di berbagai buku sejarah. Pria bercelana pendek
itu tak lain Ilyas Karim.
Ilyas
kini aktif sebagai Ketua Yayasan Pejuang Siliwangi Indonesia, sebuah
perkumpulan veteran, merupakan satu-satunya saksi sejarah detik-detik
proklamasi yang masih hidup.
Kehidupan
Ilyas yang pernah andil dalam berbagai misi penumpasan pemberontakan
kurang mendapat perhatian pemerintah. Ia memang tidak mencari pengakuan
penuh, tapi itu sudah seharusnya didapat pria yang juga pernah ikut
dalam misi perdamaian Garuda II di Kongo, pada 1961 silam. “Dia
(pemerintah) tahu, kami berjuang,” ujar Ilyas kecewa.
Meski
demikian, Letnan Kolonel Purnawirawan ini tak ingin menuntut banyak.
Ilyas hanya ingin menghabiskan masa tuanya dengan melihat kemerdekaan
rakyat Indonesia. Ia berharap, generasi muda mau menghargai perjuangan
para pahlawan dengan mengisi hidup lebih baik lagi.
Kisah Hidup Ilyas Karim Sang Pengibar Bendera Pusaka
Di
usianya yang ke-81, pria sepuh itu masih tetap menikmati hidupnya di
pinggir rel Kalibata, Jakarta Selatan. Pria yang kini menderita stroke
mata itu seharusnya bisa hidup lebih layak. Sebab, pria bernama Ilyas
Karim adalah pelaku sejarah penting. Dialah pengibar pertama Sang Saka
Merah Putih pada 17 Agustus 1945 lalu.
Anda
tentu pernah melihat foto upacara pengibaran Bendera Merah Putih
pertama kali di Jalan Pegangsaan Timur Jakarta Pusat. Di foto itu tampak
dua orang pengibar bendera yang dikelilingi oleh Presiden Soekarno,
Wakil Presiden Mohammad Hatta, Ibu Fatmawati, dan SK Trimurti. Pemuda
pengibar bendera yang bercelana pendek itulah Ilyas Karim.
Saat
ini Ilyas tinggal di sebuah rumah sederhana di Jl. Rawajati Barat,
Kalibata, Jakarta Selatan, bersebelahan dengan rel kereta api, Selasa
(12/8/2008) kemarin, Ilyas masih tampak bugar. Meski gerak badannya
tidak segesit dulu, namun dia tidak tampak bungkuk ataupun tergopoh
ketika berjalan.
Ilyas
menceritakan pengalamannya sebagai pengibar bendera Merah Putih pertama
di republik ini. Waktu itu, Ilyas adalah seorang murid di Asrama Pemuda
Islam (API) yang bermarkas di Menteng Jakarta Pusat. Malam hari sebelum
dibacakan proklamasi kemerdekaan RI, Ilyas beserta 50-an teman dari API
diundang ke rumah Soekarno di Pegangsaan Timur No. 56.
“Katanya ada acara gitu,” tutur Ilyas.
Saat
berkumpul di rumah Soekarno itulah Sudanco (Komandan Peleton) Latief
menunjuknya untuk menjadi pengibar bendera di acara proklamasi
kemerdekaan keesokan harinya. Satu orang pengibar yang lain yang
ditunjuk adalah Sudanco Singgih, seorang tentara PETA. “Saya ditunjuk
karena paling muda. Umur saya waktu itu 18 tahun,” kata Ilyas.
Ilyas
menceritakan pengalaman itu dengan penuh semangat. Matanya yang harus
diplester agar tidak terpejam tampak berbinar. Ilyas memang menderita
stroke mata. Dokter menganjurkannya untuk memlester kelopak matanya agar
tidak terpejam. Sudah berbagai upaya pengobatan ditempuhnya namun belum
juga membuahkan hasil.
Meski
dengan sakitnya itu, Ilyas tetap aktif beraktivitas. Sejak tahun 1996
dia menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat Yayasan Pejuang Siliwangi
Indonesia yang memiliki cabang di 14 propinsi, antara lain di Medan,
Riau, Jambi, Palembang, Banten, dan Ambon.
“Saya akan diganti tahun 2009 nanti,” kata Ilyas.
Yayasan
itu sendiri bergerak di bidang sosial. Kegiatannya antara lain
penyantunan anak yatim, pembangunan rutempat ibadah, dan penyantunan
orang jompo.
Ilyas
lahir di Padang, Sumbar. Dia sekeluarga baru menetap di Jakarta pada
1936. Ayahnya dulu seorang camat di Matraman. Di zaman penjajahan
Jepang, ayahnya dibawa ke Tegal dan dieksekusi tentara Jepang. Sejak
saat itu, Ilyas menjadi yatim.
Setelah
pengibaran Sang Saka Merah Putih itu, Ilyas kemudian menjadi tentara.
Pada 1948, Ilyas dan sejumlah pemuda di Jakarta diundang ke Bandung oleh
Mr Kasman Singodimejo. Di Bandung, dibentuk Tentara Keamanan Rakyat
(TKR). Kesatuan tentara ini kemudian ini nama Siliwangi. Nama Siliwangi
merupakan usul dari Ilyas.
Sebagai
tentara, Ilyas pernah diterjunkan di sejumlah medan pertempuran di
berbagai daerah, termasuk ditugaskan sebagai pasukan perdamaian di
Libanon dan Vietnam. Pada 1979, Ilyas pensiun dengan pangkat letnan
kolonel. Kehidupannya mulai suram, karena dua tahun kemudian dia diusir
dari tempat tinggalnya di asrama tentara Siliwangi, di Lapangan Banteng,
Jakpus. Sejak saat itu hingga saat ini dia tinggal di pinggir rel KA.
sumber: http://kaskusnews.com
0 comments:
Post a Comment